Powered By Blogger

Jumat, 16 Maret 2012

Persiapan menghadapi UN

             Sebentar lagi bulan april akan datang, danbulan april itu tepatnya tanggal 23 april sampai 26 april akan dilaksanakan Ujian Nasional, dan saya sudah mempersiapkan sangat matang untuk menghadapi ujian nasional jauh-jauh hari. Misalnya saya mengikuti bimbingan belajar diluar sekolah seperti Sony Sugema College, dan mengikut pemantapan disekolah. Dan itupun semua saya lakukan demi menghadapi Ujian Nasional walau itu terasa lelah, ya mau tidak mau kita jalani saja.
              Sebelum Ujian Nasional saya melakukan beberapa Ujian yaitu Ujian Sekolah dan Ujian Praktek, menurut saya yang paling sulit adalah Ujian Praktek, dari semua ujian praktek itu yang paling cape adalah praktek pagelaran, karena praktek pagelaran kita akan mementaskan sebuah pagelaran, dan masalahnya pagelaran ini pun jelas mengganggu saya belajar untuk Ujian nasional, tetapi saya tidak pernah malas untuk belajar karena Ujian nasional tinggal menghitung hari, jadi saya harus mempersiapkan dari jauh hari, daripada ntar saya menyesal dengan hasil yang tidak memuaskan

Dan ini beberapa Hal yang harus diperhatikan sebelum Ujian Nasional terlaksana
-Yang paling pertama dan paling penting adalah jaga kesehatan
-Yang kedua belajar yang giat dan jangan lupa beribadah atau shalat 5 waktu
-Yang ketiga jangan lupa kita meminta doa restu kepada orang tua, karena doa orang tua lebih manjur daripada doa kita
-Dan kalo ingin lebuh pintar kita bisa mengikuti bimbingan belajar diluar sekolah

Dan yang diatas itu beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mempersiapkan ujian nasional, sepertinya hanya itu dari saya yang bisa saya sampaikan, semoga teman-teman dapat lulus dengan nilai yang memuaskan, juga dapat masuk SMA yang diinginkan

Minggu, 26 Februari 2012

Sedikit tentang photography

         Fotografi (dari bahasa Inggris: photography, yang berasal dari kata Yunani yaitu "photos" : Cahaya dan "Grafo" : Melukis/menulis.) adalah proses melukis/menulis dengan menggunakan media cahaya. Sebagai istilah umum, fotografi berarti proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya. Alat paling populer untuk menangkap cahaya ini adalah kamera. Tanpa cahaya, tidak ada foto yang bisa dibuat.
Prinsip fotografi adalah memokuskan cahaya dengan bantuan pembiasan sehingga mampu membakar medium penangkap cahaya. Medium yang telah dibakar dengan ukuran luminitas cahaya yang tepat akan menghailkan bayangan identik dengan cahaya yang memasuki medium pembiasan (selanjutnya disebut lensa).
Untuk menghasilkan intensitas cahaya yang tepat untuk menghasilkan gambar, digunakan bantuan alat ukur berupa lightmeter. Setelah mendapat ukuran pencahayaan yang tepat, seorang fotografer bisa mengatur intensitas cahaya tersebut dengan mengubah kombinasi ISO/ASA (ISO Speed), diafragma (Aperture), dan kecepatan rana (speed). Kombinasi antara ISO, Diafragma & Speed disebut sebagai pajanan (exposure).      


ISENG.. 
hal pertama yg terlintas di benak saya. awalnya ingin mengetahui sejarah dan perkembangan dunia Photography. segala upaya telah saya gunakan dari membaca, searching by google. bertanya, dll. ternyata saya sangat tertarik dengansejarah awal-mula photography, atau lebih jelasnya "PERTAMA KALI DICETUSKANNYA KATA PHOTOGRAPHY" itu.
Mungkin rekan-rekan bertanya " kenapa saya bisa tertarik dengan sejarah awal mula photography....???" mungkin aneh bagi rekan2 menanggapai hal ini, dan ini merupakan pertanyaan yang sangat bagus bagi saya. setelah saya mencari di beberapa artikel. terdapat banyak perbedaan, atau lebih tepatnya banyak versi tentang awal mula Photography tersebut.

-------->>> secara umum, photography itu berasal dari bahasa yunani, yaitu Photos dan Graphos. dimana Photos berarti melukis dan graphos berarti cahaya, jadi Photography bisa diartikan sebagai melukis menggunakan cahaya.

--->Istilah photography pertama dicetuskan oleh Sir John Herschel pada tahun 1839, kata ini diambil dari kata Yunani yang diartikan sebagai "cahaya dan menulis". Jauh sebelum photograp pertama dibuat, Ilmu optikal dikembangkan oleh ilmuan dari Iraq (arab) yang bernama Ibn al-Haytham (Alhazen) (965–1040), dengan penemuannya berupa camera obscura (dark room) dan pinhole camera (lens), yang eksis kurang lebih sekitar 4oo tahun lamanya.dan pada tahun 1519 Leonardo da Vinci mengunakan camera obscura tersebut untuk membantunya melukis/ membuat gambar. Dan yang kedua adalah proses perkembangan ilmu kimia yang berkembang ratusan tahun sebelum photography ditemukan. Misalnya penemuan beberapa warna yang dihasilkan dari cahaya matahari, dengan adanya sedikit perbedaan antara api, air, dan cahaya. masih banyak deretan ilmuan yang ngak bisa diurai satu-satu di sini... kepanjangan..mereka mengembangkan ilmu kimia yang berkaitan dengan warna, cahaya , capture image, silver nitrate, silver chloride. Diafragma, dll. Pokeke bingung lah aku... yang semua mengarah ke ilmu photografi. tahapan perkembangan photography sendiri dimulai oleh seorang Prancis yang bernama Tiphaigne de la Roche, (1729- 1774) dengan karyanya yang berjudul “Giphantie”
Gambar pertama yang sukses adalah yang dihasilkan pada bulan Juni/juli 1827 oleh Niepce, yang menggunakan material yang keras untuk mengekspose cahaya. (box hitam kotak Kayu)
Wah seru juga ya... belum lagi bicara perkembangan kameranya.. dari kamera hitam putih, berwarna, digital, Kalau secara acak urutan penemuanya ini nih..:
1839 - William Fox Talbot menemukan proses positive / negative yang dikembangkan selama ini untuk modern photography. Dia lebih menyebutnya sebagai gambar photogenic.
1861 – James Clerk Maxwell.menemukan foto berwarna yang pertama 
1878 Muybridge, menemukan High speed photography, foto dalam kecepatan tinggi. 
1888 - Kodak memasarkan produk terlarisnya: easy-to-use camera. 
1891 - Thomas Edison mempatenkan penemuannya "kinetoscopic camera" (gambar yang bergerak/ motion pictures).
1895 - Auguste and Louis Lumière – menemukan cinématographe.
1932 – Disney membuat film pertama dengan full color (Technicolor movie, Flowers and Trees)
1939 – Agfacolor yang pertama menciptakan modern "print" film. Dengan material warna negative-positive 
1948 - Edwin H. Land memperkenalkan kamera Polaroid instant image 
1986 – ilmuan Kodak menemukan yang pertama di dunia megapixel sensor. 
Dan hingga terakhir 2006 - Dalsa produces 111 megapixel CCD sensor, resolusi yang tertinggi saat ini. 

waduh sampai sekarang juga saya blm mendapat jawaban atas apa yg saya tanyakan, dan kenapa semua hal selalu dikait2kan dengan bahasa yunani ya....???? apa kah diyunani pusat segala pusat....???? hehehehe... 

ya entah apa pun dan kapanpun itu yang penting sekarang dunia photography telah berkembang pesat di jagat kesenian. dan seperti hal seni, istilah Photography itu tidak ada kepastian kapan dan siapa yg pertama kali menemukan, dan tidak ada parameter atau alat ukur sebuah seni itu seperti apa..                    





                                          Dan inilah hasil jepret saya, maklum masih amatiran ....








Kamis, 06 Oktober 2011

hasil jepret saya saat band-band underground bermain !!!

STANDFREE

KOMPLETE KONTROL

                                                                      BLIND TO SEE
                   
                                                          KOMPLETE KONTROL

                                                                   BLIND TO SEE

Awal Musik Underground alias Independen


Kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai pendahulunya.
Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gipsy (Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Terncem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten.
Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70an. Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir asal Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih liar dan exstrem untuk ukuran zamannya. Padahal kalau mau jujur, lagu2x yang dimainkan band- band tersebut di atas bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band luar negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga ELP.
Tradisi yang kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah namanya sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El Pamas, Grass Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta). Selain itu Log jugalah yang membidani lahirnya label rekaman rock yang pertama di Indonesia, Logiss Records. Produk pertama label ini adalah album ketiga God Bless, “Semut Hitam” yang dirilis tahun 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset di seluruh Indonesia.
Menjelang akhir era 80-an, di seluruh dunia waktu itu anak-anak muda sedang mengalami demam usik thrash metal. Sebuah perkembangan style musik metal yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy metal. Band2x yang menjadi gods-nya antara lain Slayer, Metallica, Exodus, Megadeth, Kreator, Sodom, Anthrax hingga Sepultura. Kebanyakan kota2x besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang hingga Bali, scene undergroundnya pertama kali lahir dari genre musik ekstrem tersebut.
UNDERGROUND VS IDEALISME
Kata underground periode tahun 90-04 sempat naik daun, dan jadi basis sayap kiri bagi kalangan musisi independen. Di Bandung basis kelompok musisi indie, kata underground diterjemahkan sebagai bawah tanah, dengan arti khusus kebebasan buat berkarya.
“Kami menyebut underground sebagai spirit bermusiknya. Di Bandung underground nggak ada yang istilah paling hebat. Jadi, semua bersaing. Semua memiliki kubu dan massa masing-masing. Beda dengan di Jakarta, dulu ada satu grup yang menjadi pimpinan underground. Di Sukabumi juga begitu, kata salah satu penyiar Radio MGT FM Bandung. Karena kata underground sering diartikan salah kaprah, maka bagi sebagian musisi, kata underground diartikan sebagai band-band pembawa lagu-lagu keras, “wah yang ngomomg kayanya blom lulus buat jadi musisi nih” tapi buat banyak musisi lainnya, underground bisa diisi segala macam jenis musik, selama mereka belum masuk pada major label.
Banyak band2x yang sekarang bernaung di major label, background aslinya adalah band indie juga. toh buat mereka ga ada masalah dengan penggemar panatik mereka ketika masih band indie, apa yang dicapainya sekarang adalah titik kesuksesan berkarir, soalnya kita sedang di dalam ruang lingkup rezeki kalau memang kita bisa masuk ke major label knapa ngga kita manfaatin semaksimal mungkin bukan berarti indie label ngga ngejanjiin masa depan yang bagus. ini tinggal soal peluang yang harus atau ngga diambil sama sekali.
Aliran musik dalam underground bisa sangat beragam, mau yang load voice, midlle voice sampai yang kalem pun itu bisa, yang penting semangat dalam pembawaan nya aja yang jangan di lupain. soalnya semangat / spirit ini lah yang paling penting “UNDERGROUND SPIRIT”. ambil contoh, ketika kita mendengarkan beberapa buah lagu : return of zelda-system of a down, enter sandman-metallica dan american idiot-green day. Yang kita tahu ke tiga lagu tsb sama2x load voice, sama2x dimainkan dengan peralatan musik yang ga jauh beda jenisnya, tapi kalo kita telisik lebih dalam pasti ada banyak perbedaan yang mencolok dari ke tiga nya, apalagi kalo bukan pembawaan ama spiritnya. Hal ini juga lah yang dapat membedakan jenis musik dan aliran apa yang mereka mainkan. Begitu pula dengan undergound, klo selalu di deskripsikan dengan musik yang keras, tentunya itu salah besar.
Namun memang underground lebih dekat dengan jenis musik metal. Jenis musik ini memang jauh dari incaran perusahaan rekaman besar yang, yang biasa disebut major label. Bahkan ada pendapat agak ekstrem, “Kalau band indie masuk major label, pasti konsep bermusiknya jadi beda, karena harus disesuaikan dengan pasar, dan tak dapat beridealis ria lagi.
Pendapat inilah yang ditolak oleh Beng-Beng, Jun Fan Gung Foo dan Noin Bullet dari Bandung. Noin Bullet yang memainkan musik ska-core, awalnya memang indie label, namun kini masuk lingkaran major label Warner Music Indonesia. “ Tapi musik kami tak berubah. Semua lagu yang kami jual dengan indie label, langsung diedarkan lagi oleh Warner, dengan label Warner Music Indonesia. Tanpa berubah, tanpa didikte siapapun, “ kata Chairul, gitaris Noin Bullet. Bersama Beng-Beng, ia curiga, jangan-jangan anak-anak indie banyak iri, karena Pas, Noin Bullet dan beberapa band indie lainnya bisa masuk major label, sementara mereka belum. http://www.newsmusik.net/
Ngomong2x soal idealisme, sebagian besar band2x indie mengusungnya baik dalam karya lagu, pementasan bahkan ada yang membawa idealisme tersebut dalam kehidupannya sehari - hari. Macam2x jenis idealisme yang di usung band2 indie tsb, diantaranya : Idealis terhadap isu anti kemapanan, Idealis terhadap isu anti major label, Idealis terhadap isu sosial, politik dan ekonomi bahkan ada yang lebih extrem yaitu Idealis dengan atheisme atau tidak percaya terhadap adanya Tuhan. Cuman untuk point yang ke empat ini kita akan sangat sulit untuk menjumpainya.
Banyak band-band indie yang sejak awal sudah idealis salah satunya alergi sama major label, dan tak mau menawarkan lagu2x karyanya ke sana. Padahal banyak contoh menarik tentang band-band indie yang masuk major label, seperti Netral, Pas, Jun Fan Gung Foo dan Sucker Head.
Berikut adalah sebagian kecil band2x indie asli made in bandung yang mungkin dapat gw inget, yang eksistensinya masih dapat kita jumpai :
Jack and the four man, Koil, Polyester embassy, The tomato, Rocket rocker, Alone at last, Closehead, Mobil derek, Disconnected, The s.i.g.i.t, Mocca, Tcukimay, Pure saturday, A stone A, Retrieval, Restless, Hellgods, Jeruji, Laluna, Maymelian, Burgerkill, Bak sampah dll
Akhirnya, dalam keluarga underground alias independen itu, ada jenis musik yang beragam : industrial-techno, hardcore, brutal death metal, punk, hardrock, ska, alternative, black metal dan lainnya.

UNDERGROUND VS INDIE
Indie Indonesia Era 2000-an
Bagaimana pergerakan scene musik independen Indonesia era 2000-an?
Kehadiran teknologi internet dan e-mail jelas memberikan kontribusi besar bagi perkembangan scene ini. Akses informasi dan komunikasi yang terbuka lebar membuat jaringan (networking) antar komunitas ini semakin luas di Indonesia. Band-band dan komunitas-komunitas baru banyak bermunculan dengan menawarkan style musik yang lebih beragam.
Trend indie label berlomba-lomba merilis album band-band lokal juga menggembirakan, minimal ini adalah upaya pendokumentasian sejarah yang berguna puluhan tahun ke depan. Yang menarik sekarang adalah dominasi penggunaan idiom indie dan bukan underground untuk mendefinisikan sebuah scene musik non-mainstream lokal. Sempat terjadi polemik dan perdebatan klasikmengenai istilah indie atau underground ini di tanah air.
Sebagian orang memandang istilah underground semakin bias karena kenyataannya kian hari semakin banyak band-band underground yang sell-out, entah itu dikontrak major label, mengubah style musik demi kepentingan bisnis atau laris manis menjual album hingga puluhan ribu keping. Sementara sebagian lagi lebih senang menggunakan idiom indie karena lebih elastis dan misalnya, lebih friendly bagi band-band yang memang tidak memainkan style musik ekstrem. Walaupun terkesan lebih kompromis, istilah indie ini belakangan juga semakin sering digunakan oleh media massa nasional, jauh meninggalkan istilah ortodoks `underground’ itu tadi.
Ditengah serunya perdebatan indie/underground, major label atau indie label, ratusan band baru terlahir, puluhan indie label ramai- ramai merilis album, ribuan distro/clothing shop dibuka di seluruh Indonesia. Infrastruktur scene musik non-mainstream ini pun kian established dari hari ke hari. Mereka seakan tidak peduli lagi dengan polarisasi indie-major label yang makin tidak substansial. Bermain musik sebebas mungkin sembari bersenang-senang lebih menjadi panglima sekarang ini.
[brigezisback.wordpress.com]

SALAH BESAR JIKA MENGANGGAP BANDUNG UNDERGROUND HANYA SEBUAH SCENE ATAU SUBKULTUR. IA TELAH MENJELMA JADI PENANDA JAMAN KETIKA GAIRAH BERMUSIK DIMANIFESTASIKAN KE DALAM SEMANGAT PEMBERONTAKAN TERHADAP KEMAPANAN, KEBERSAMAAN UNTUK MENGATASI KETERBATASAN, SERTA EKSISTENSI DIRI.

BARUDAK Bandung selalu punya cara tersendiri untuk berinteraksi dengan jamannya. Generasi Gito Rollies dan Deddy Stanzah, misalnya, menunjukkan spirit pemberontakan mereka dengan menganut gaya hidup urakan-ugal-ugalan. Sambil, tentu saja, tidak lupa berlaku-pagu via musik. Dan rock ‘n roll dipilih menjadi rel untuk menghela gerbong gejolak jiwa mereka.
Generasi Gito Rollies dikenal sangat badung. Tapi faktanya prestasi mereka dalam bermusik sangat istimewa. Itulah yang menyebabkan kebadungan mereka bisa ditolerir sejarah. Bahkan sejarah malah berbalik menyanjung mereka sebagai figur-figur prestisius.
Lebih-kurang dua dekade setelah era keemasan angkatan Gito Rollies dan Deddy Stanzah berlalu, generasi muda Bandung menganut cara lain dalam menunjukkan eksistensinya. Ketika ruang arusutama didominasi kemestian bernama komodifikasi yang selalu berbaju proyeksi mengejar keuntungan materi semata — sehingga tidak memberi spasi memadai buat spirit lain di luar itu, mereka memilih jalan lain dalam mengekspresikan letupan-letupan liar dalam benak mereka. Letupan-letupan itu awalnya mengecambah secara sendiri-sendiri di titik-titik tertentu. Maka kemudian, tumbuhlah beberapa kantung komunitas. Sekadar menyebut, ada komunitas TU yang biasa nongkrong di Jalan Teuku Umar. Band-band semacam Balcony atau Take A Stand mengerek komunitas ini. Komunitas ini kemudian melahirkan kompilasi historikal bertajuk Brain Baverages.
Ada juga komunitas Balkot yang doyan nangkring di Balai Kota Bandung. Di samping fokus pada musik, mereka ini punya kecenderungan mengakrabi olahraga ekstrem skateboarding. Mungkin ini ada kaitannya dengan saujana Balkot yang memang cukup asoy dijadikan tempat bermain papan luncur. Bahkan di kemudian hari komunitas ini mengidentifikasikan diri sebagai salah satu scene yang meletakkan fondasi subkultur skateboarding di kota kembang.
Sampai kemudian di era mutakhir awal 2000-an, masih di Balkot, muncul pula komunitas lain bernama Kolektif Balkot Jam Lima Sore. Komunitas yang bersulih nama menjadi Balkot Terror Project ini adalah sebuah gerakan kolektif yang dibangun secara sel dengan semangat memelihara kemurnian ideologi bermusik. Di mata mereka, betapa pun arus komodifikasi terhadap scene sudah sedemikian dahsyat dan merongrong idealisme, gelombang komersialisasi tetap harus dilawan dengan segenap upaya (catatan: untuk Kolektif Balkot Jam Lima Sore akan dibahas dalam tulisan khusus).
Semangat D.I.Y (Do It Yourself) pun jadi pilihan. Mereka menggelar gigs atau mengeluarkan rilisan — baik album maupun newsletter — secara permana dan murni swadaya. Gigs digelar dengan cara kolektif, dalam arti setiap band yang main harus urunan untuk sekadar menyewa alat musik dan tempat. Sebuah solusi yang kemudian jadi pilihan ketika minta ijin untuk menggelar acara sepelik mencari jarum di padang ilalang. Sementara rilisan dikemas sesederhana mungkin, nu penting kumaha carana lagu uing bisa didengekeun ku batur. Pola penggandaan CD dengan menggunakan personal komputer pun kerap ditempuh dan lantas dijual dengan harga: ceban!!!
Jangan lupakan pula sekelompok pengusung idealisme dan ideologi punk yang sampai sekarang tetap panceg dina galur berinteraksi dengan sejawatnya di sekitar kawasan perbelanjaan Bandung Indang Plaza (BIP). Jangan pernah menganggap sepele kontribusi mereka dalam meletakkan fondasi Bandung Underground. Salah satu gigs bersejarah bernama Gorong-Gorong Bandung dicetuskan Dadan Ketu, salah seorang peretas komunitas tersebut.
Bukan hanya gigs Gorong-Gorong, Dadan Ketu bersama PI Crew — nama lain dari komunitas BIP — menancapkan pula tonggak lain bernama Bandung’s Burning. Sebuah rilisan berisi kompilasi sejumlah band punk yang mencatat sukses luar biasa. Band-band seperti Jeruji, Runtah, The Bollocks, atau Keparat, harus diakui, terkerek namanya berkat kompilasi yang dirilis menggunakan label Riotic Records itu.
Dan voila… komunitas paling fenomenal tentu saja Ujungberung Rebel. Komunitas ini tumbuh sedemikian rupa jadi kisi-kisi penting harakah musik bawah tanah kota kembang. Tidak hanya komitmen tinggi panceg dina galur memainkan musik-musik ultragaduh, di sana juga ada geliat ekonomi kreatif-kerakyatan mulai dari jualan kaus, tukang sablon, sampai mendirikan perusahan rekaman independen yang sangat marak. Harus kita akui, komunitas inilah yang mencancapkan fondasi, pengaruh, dan kontribusi paling besar terhadap Bandung Underground.
Tak bisa dipungkiri, kantung-kantung komunitas itulah yang menjadi noktah-noktah penyangga dari sebuah fenomena bernama Bandung Underground. Sebuah fenomena peradaban yang gaungnya kini tidak hanya terdengar di ranah nasional, melainkan juga sudah merambah sampai ke mancanegara. Sayangnya, subkultur ini harus menjalani masa-masa paling sulit sejak awal 2008. Tepatnya selepas tragedi AACC yang ditandai meregangnya sebelas orang nyawa dalam acara peluncuran album perdana Beside.
Satu hal penting yang mesti digarisbawahi, betapa pun identik dengan band-band bising, keliru juga jika kita menganggap Bandung Underground melulu dihuni dan dibesarkan oleh band-band punk, hardcore, metal, jeung sajabana. Sejumlah godfather yang meletakkan fondasi Bandung Underground justru tidak memainkan musik metal. Sebut saja Richard Mutter. Bersama Yukie, Bengbeng, dan Trisno di Pas Band, Richard tidak memainkan metal sefrontal yang diperagakan Sonictorment, Forgotten, atau Jasad. Demikian pula dengan Pure Saturday yang sampai saat ini tetap dianggap sebagai salah satu peletak tiang pancang eksistensi Bandung Underground. Ada pula band indiepop klasik seperti Kubik atau Cherry Bombshell.
Meski demikian, kita tidak bisa menyalahkan persepsi khalayak jika Bandung Underground diidentikan dengan band-band bising. Sebab, salah satu momen yang membuat istilah Bandung Underground berkibar kencang seperti sekarang memang berkat imbas kesuksesan sebuah gigs metal bernama Bandung Underground.
KELAHIRAN
Sebuah literatur menyebutkan, istilah underground sudah dipakai di Majalah Aktuil pada 70-an. Istilah itu muncul untuk mendeskripsikan sebuah gaya bermusik dengan memainkan lagu-lagu kencang yang substansinya amat sarat dengan perlawanan terhadap sistem nan mapan. Tentu saja saat itu istilah Bandung Underground belum muncul atau setenar sekarang. Meski demikian, kota kembang tetap mengirimkan wakilnya ke garda depan saat khalayak bicara musik underground. Ada grup bernama Super Kid dan Giant Step, dua band legendaris yang sangat diperhitungkan dalam sejarah rock tanah air. Mereka dianggap ‘gerilyawan’ pengacau patron industri musik tanah air yang saat itu didominasi lagu-lagu pembangkit buluh perindu.
Super Kid dan Giant Step tidak sendirian dalam meletakkan fondasi musik ala bawah tanah. Ada AKA dan SAS dari Surabaya, Terencem dari Solo, sampai grup rock paling legendaris di tanah air, God Bless, yang mengibarkan bendera ibu kota. Dan kita sama sekali tidak bisa memungkiri, merekalah yang meletakkan kisi-kisi subkultur bermusik ala underground. Setidaknya mereka telah mengajak generasi muda untuk memberontak terhadap nilai-nilai kolot yang mengungkung kreativitas.
Beruntunglah, apa yang mereka bangun tidak sampai kehilangan benang merah terhadap generasi setelahnya. Khususnya di Bandung, apa yang sudah diretas The Rollies, Super Kid, atau Giant Step, diteruskan oleh anak-anak muda generasi 90-an. Salah satu embrio terpenting scene Bandung Underground diyakini lahir dari Studio Reverse, yang terletak di daerah Sukasenang. Adalah Richard Mutter dan Helvi, dua figur penting di balik lahirnya Reverse. Studio ini dianggap penting bukan hanya karena menyediakan tempat berlatih buat band-band bising. Reverse memegang peran krusial dalam sejarah Bandung Underground saat mendirikan distro yang menyediakan pernak-pernik musik dari mancanegara. Kaset, CD, kaos, poster, dan lain-lain, tersedia di sana. Dengan cara itu, ibaratnya, Reverse membukakan jalan bagi para scenester untuk bersinggungan dengan dunia luar.
Richard kemudian menindaklanjuti sumbangsih penting buat scene dengan mendirikan Pas Band dan label rekaman independen dengan nama unik, 40.1.24. Pas Band ditahbiskan sebagai grup munggaran di Indonesia yang merilis album secara independen pada 1993. Album mereka bertajuk Four Through The S.A.P mencuri perhatian setiap orang yang punya gendang telinga tebal dan tak heran bila 5000 keping kasetnya tandas diburu orang dalam waktu satu setengah kejap.
Empat tahun kemudian, masih dengan bendera 40.1.24, Richard juga merilis sebuah mahakarya kompilasi yang diberi tajuk Masaindahbangetsekalipisan. Kompilasi ini layak disebut mahakarya bukan hanya karena memuat band-band anjisuranjis-edunsuredun macam Burgerkill dan Puppen, tapi juga menyodorkan sebuah inisiasi kepada publik mundial bahwa aing ge bisa nyieun nu kieu!
Tanpa konsep distribusi yang muluk dan ribet, gaung Four Through The S.A.P dan Masaindahbangetsekalipisan tembus ke mana-mana. Pada waktu bersamaan, sebuah stasiun radio yang tak kalah anjisuranjis-edunsuredun bernama GMR (singkatan dari Generasi Muda Radio), tengah mengibarkan bendera ke angkasa dengan sekencang-kencangnya. Peran Radio GMR sangat krusial sebagai media penyambung antara band dan anak muda bergendang telinga tebal. Inilah radio yang secara konsisten menyediakan frekuensinya untuk disesakki musik-musik bising melulu. Lagu-lagu dari kedua album tersebut nyaris saban hari menderu-deru di frekuensi 104.4 FM.
Ketika spasi buat musik ultragaduh di tempat lain masih sangat dikebiri, GMR dengan lantang memutar lagu-lagu dari band dengan nama-nama asing. Bukan hanya rilisan dari band lokal, tapi juga grup dari luar negeri. Radio inilah yang membuat barudak kota kembang cepat akrab dengan grup seperti Carcass, Benediction, Gorfest, dan sejibun band inspiratif lain. Sebuah kondisi yang tak terjadi di tempat lain. GMR juga punya kepedulian maksimal jadi media publikasi verbal rilisan-rilisan lokal. Bahkan rilisan amatir pun mereka mau memutarkannya (Catatan: tentang GMR akan dibahas khusus pada bagian lain).
SCENE
Di antara sejumlah faktor yang membuat Bandung Underground cepat besar, komunitas adalah faktor yang sangat penting — kalau tidak boleh menyebut paling penting. Merekalah yang menyemai embrio dan memeliharanya agar terus hidup di antara himpitan setumpuk persoalan.
Walaupun dianggap sebagai ikon komersial, pusat pertokoan Bandung Indah Plaza (BIP) ternyata punya peran penting dalam sejarah Bandung Underground. Tempat ini jadi kilometer nol kelahiran sebuah komunitas sangat klasik yang menamakan diri Bandung Death Metal Area alias Badebah. Komunitas ini lahir di tangan para penggila thrash, death metal, dan grindcore. Prokalamator komunitas ini adalah Uwo, vokalis band Funeral asal Sukaasih, Ujungberung. Di samping Funeral, para personel band Jasad dan Necromancy juga secara intens menggerakkan scene ini.
Babedah tumbuh tanpa disekat perbedaan aliran musik, sebab kemudian barudak dari bermacam latar belakang pun turut bergabung. Bendera Badebah makin berkibar setelah dijadikan program siaran di Radio Salam Rama Dwihasta yang bermarkas di Sukaasih, Ujungberung. Di tangan kuartet penyiar Agung-Dinan-Uwo-Iput, program ini mengudara pada rentang 1992 hingga 1993 dan sertamerta jadi primadona. Ukurannya sederhana: 200 sampai 300 pucuk kartu pos mampir ke markas Radio Salah Rama Dwihasta saban pekan. Eusina macem-macem, mulai menta lagu nepi ka nitip salam keur dulur nu lain.
Di tempat berbeda, barudak lain juga membangun komunitas masing-masing atau bergabung dengan komunitas yang sudah terbentuk. Para scenester tidak hanya menjadikan komunitas-komunitas ini sebagai tempat nongkrong. Mereka juga menjadikan komunitas sebagai sarana untuk membangun jejaring dan mengembangkan ide.
Barudak Ujungberung lagi-lagi berada di garda depan. Di sebuah studio musik bernama Palapa, insting bergaul hanya untuk jadi ajang nongkrong pengisi waktu senggang, pelahan-lahan dikoreksi sehingga membuahkan hasil yang lebih produktif. Setelah ritual nongkrong sudah dianggap mentok dan tidak menghasilkan apa-apa, mereka kemudian membentuk Extreme Noise Grinding (ENG). ENG sukses membuka jaringan ke mana-mana, sampai ke luar kota bahkan mancanegara.
ENG membuat konsep berkomunitas jadi lebih terarah. Salah satu sumbangsih terbesar ENG adalah gigs metal yang sangat fenomenal bernama Bandung Berisik. Zine Revograms yang dirilis kali pertama pada Maret 1995 bisa menghajar mata scenester juga berkat ENG. Revograms sangat inspirasional karena jadi zine underground munggaran di tanah air.
Kelebihan ENG ada pada kemampuannya memberdayakan lingkungan. Mereka tidak hanya menempa anggota komunitas dalam hal bagaimana bermusik yang baik. Alhasil, ENG sanggup ngigelan jaman. Scene ini kemudian bersulih rupa jadi Homeless Crew yang sangat identik dengan Ujungberung. Nama Homeless Crew dicetuskan Ivan Scumbag sebagai manifestasi penolakan terhadap (lagi-lagi) kemapanan.
Tahun 1997, sejumlah band yang aktif di Homeless Crew sepakat merilis kompilasiUjungberung Rebels yang ultrahistorikal di bawah bendera Independen Records. Kompilasi ini tak memuat hal lain kecuali musik ultragaduh dari band-band edan yang di kemudian hari semuanya jadi metalhead. Sedemikian historikalnya Ujungberung Rebels, sehingga tak ada satu pun band yang ikut dalam kompilasi ini yang tidak menjadi legenda. Tak heran bila publik menjadikan kompilasi ini sebagai salah satu relief sejarah terpenting Bandung Underground.
Saking besarnya efek kompilasi Ujungberung Rebels, barudak Homeless Crew pun kadang disebut Ujungberung Rebels. Sampai sekarang, komunitas ini tanpa henti melahirkan band dan musik yang mematikkan.
GIGS
Bandung Underground mencapai puncak kejayaan ketika GOR Saparua secara berkala menggelar gigs. Inilah tempat yang menjadi titik api Bandung Underground. Semangat bermusik yang diusung masing-masing komunitas mengalir dan bermuara ke GOR Saparua. Di sinilah nama-nama angker seperti Puppen, Jasad, Forgotten, Burgerkill, Jeruji, Blind to See, Balcony, Turtle Jr., Koil, dan sederet nama lain, dibaptis jadi wakil generasi terbaik Bandung Underground.
Nonton gigs di GOR Saparua lantas menjadi ritus wajib bagi para scenester. Saban akhir pekan GOR tersebut ibarat muara tempat bertemunya berbagai kepentingan, mulai dari vokalis band yang hendak merentang otot leher, pagawai drum yang gatal ingin menghajar snar sekencang-kencangnya, sampai hasrat penonton yang ingin memeras keringat di dalam GOR Saparua yang ventilasinya teu bisa disebut alus. Dan jangan lupakan satu hal, di sana ada pula geliat ekonomi. Sebab, faktanya sejumlah gigs di GOR Saparua berhasil mengeruk keuntungan materi yang lumayan. Belum lagi kiprah para penjaja makanan dan minuman ringan serta calo tiket.
Yeahhh… Saparua kadung identik dengan Bandung Underground, padahal gigs serupa sebenarnya kerap pula dihelat di tempat lain. Semuanya berawal dari Hullaballo I yang digelar pada 1994. Inilah tombol pelatuk yang memicu pentas-pentas musik underground. Bandung Underground, Gorong-Gorong, Campur Aduk, Bandung Berisik, Boomer Underground, atau Master of Underground, tak akan mudah dilupakan siapa pun yang pernah menyaksikannya. Bayangkan, GOR Saparua yang kapasitasnya tidak seberapa, penuh sesak sampai teu bisa usik saat pentas-pentas tersebut digelar.
Namun saat GOR Saparua semarak dengan gigs edan, di sisi lain terjadi sebuah ironi. Hegemoni band-band seperti Burgerkill atau Puppen (sekadar menyebut nama) atas panggung GOR Saparua, membuat banyak grup kecil tak memperoleh kesempatan memadai untuk mengecap sangarnya beraksi di sana.
Sebagai bentuk perlawanan, kemudian lahirlah pola gigs kolektif di awal 2000-an. Band yang tak kunjung mendapat kesempatan tampil di GOR Saparua, berinisiatif menggelar gigs mandiri. Caranya, setiap band yang mau tampil urunan sejumlah uang. Uang yang terkumpul lalu dijadikan modal untuk menyewa alat dan tempat. Di sana mereka main sepuasnya dan memekikkan kalimat: gigs aing kumaha aing!
Karena kadung mengusung semangat D.I.Y, tiket dijual dengan banderol pikaseurieun. Ada gigs yang menjuat tiket dengan harga dua rebu perak. Dan biasanya tiket dijual tidak terlalu lama. Setelah itu, penonton bisa ngabres bebas asup.
Masa keemasan GOR Saparua langsung menguap saat pemerintah kota tidak lagi memberi ijin menggelar pertunjukkan di sana. Praktis, barudak Bandung pun kesulitan mencari tempat untuk menggelar pentas. Pola gigs kolektif pun kian mendapat angin. Jika sebelumnya menyewa tempat-tempat murah seperti gudang tak terpakai atau garasi mobil rumah seorang kawan, polanya kemudian beralih dengan cara menyewa studio musik. Uangnya lagi-lagi hasil urunan band yang tampil. Gigs semacam ini biasa disebut studio show. Studio Jawara di bilangan Jalan Lengkong Besar hampir tiap pekan merelakan ruangan sempitnya dipakai pogo dan anjrut-ajrutan. Juga Studio Grama di Jalan Cihampelas dan Studio Elang di dekat kawasan Bandara Husen Sastranegara.
Pola gigs kolektif atau studio show semakin jadi pilihan paling realitis setelah meletus Tragedi AACC pada 9 Februari 2008. Sebelas anak muda tewas dalam acara peluncuran album Beside. Inilah titik nadir sejarah gigs Bandung Underground. Untuk beberapa waktu acara musik bising di kota kembang seperti mati suri.
Meski demikian, semangat untuk menggelar acara tak pernah padam hanya gara-gara pemerintah memberlakukan ketentuan ekstra ketat dalam mengeluarkan ijin pagelaran. Setahun berselang, pelahan-lahan sejumlah komunitas mulai bisa menggagas dan menggelar kembali gigs skala besar. Salah satu yang tetap langgeng adalah Death Fest, kendati dalam dua kali pagelaran harus dilaksanakan di kompleks tentara. Bahkan memasuki tahun 2011, gigs metal pelahan-lahan kembali semarak, termasuk bangkitnya Bandung Berisik yang sudah tertidur selama lima tahun.
RILISAN
Ketika hasrat menggelar gigs terbentur bermacam hal, semangat merilis karya musik tetap tumbuh subur. Meski di lain pihak, seperti dikatakan empunya Riotic Record Dadan Ketu, “Ngarilis album band underground mah tong ngarep untung! Ieu mah urusan hate!”.
Dalam hal ini, sekali lagi, kita harus berterima kasih kepada Richard Mutter dengan label 40.1.24-nya yang telah merilis kompilasi Masaindahbangetsekalipisan pada 1993. Inilah rilisan yang menginspirasi siapa pun tanpa kecuali.
Tapi, jangan pernah lupakan kompilasi Injak Balik yang dirilis pada 1997 dalam bentuk piringan piringan hitam oleh label asal Perancis, Tian An Men 89 Records. Popularitasnya memang tidak semenjulang Masaindahbangetsekalipisan atau Ujungberung Rebel, namun rilisan yang hanya dicetak 500 kopi ini layak digolongkan sebagai tonggak sejarah. Injak Balik memuat lagu dari Puppen, Runtah, Jeruji, Piece of Cake, Deadly Ground, Savor of Filth, Turtles Jr., dan All Stupid. Dan yang terpenting, Injak Balik asilnya bisa didengarkan dengan gramafon karena berformat vinyl. Sebuah sensasi luar biasa buat siap pun yang memilikinya!
Tahun 1997, Riotic Records mengeluarkan Bandung’s Burning-Bandung Punk Rock Storm Volume 1 yang menghajar gendang telinga dengan suguhan rawk dari sederet band ikon punk seperti Keparat, Jeruji, Runtah, Rotten to the Core, Turtle Jr., Total Riot, dan The Bollocks. Tiga belas tahun berselang, Bandung’s Burning Volume 2 dirilis. Kali ini dengan semangat perlawanan lebih gigih.
Sebuah kompilasi yang sangat eksklusif karena hanya digandakan seratus keping turut mewarnai generasi pertama Bandung Underground. Album tersebut diberi tajuk Bandung Holocaust, kompilasi sederet band crustcore, dirilis Holocaust Records pada 1997.
Dari kubu indiepop, Fast Forward (FFWD) Records, yang kebetulan milik Helvi, tak mau kalah langkah. Bahkan label ini sudah merintis rilisan band dari luar negeri sejak 1999. The Chinkees dari Amerika, Cerry Orchard (Perancis), dan 800 Cheries, adalah gelombang pertama band dari mancanegara yang albumnya didistribusikan FFWD di pasar lokal. FFWD secara konsisten mempertahankan gayanya sampai sekarang.
Oh ya… bicara soal rilisan, jangan kesampingkan Extreme Soul Productions (ESP). Menggunakan nama ESP Records, label milik Iwan D ini sudah mulai merintis album-album dari band beraliran deathmetal dan sebangsanya sejak 1996. Baik band luar negeri, terlebih lagi grup domestik. Salah satu produk prestisius dari ESP adalah kompilasi band-band ultragaduh bertajuk Brutally Sickness. Sempat tertidur beberapa waktu, Iwan kembali membesut ESP sejak 2009.
Di samping kompilasi, sejak Puppen melepas This Is Not a Puppen EP dan Pas Band merilis Four Through The S.A.P, rilisan album dari band-band lain tak pernah berhenti mengalir. Sampai detik ini. Demikian pula dengan label rekaman, tak kalah semarak dengan kemunculan grup-grup musik anyar. Yang paling mutakhir adalah Rottrevore Records yang gigih menjembatani kinarya grup-grup metal untuk kemudian menjadikannya sebuah produk yang bisa menyelusup ke balik gendang telinga.
ZINE, LITERATUR, KAOS
Jika Reverse dan label 40.1.24 jadi pionir dalam urusan rekaman, maka fondasi penting dalam hal literasi adalah Revograms. Adalah Dinan — vokalis Sonic Torment — yang membidani kelahiran zine ini tahun 1995. Inilah batu pertama budaya literasi Bandung Underground yang menginspirasi terbitnya puluhan, bahkan ratusan, newsletter di kemudian hari.
Jika sekarang orang lebih banyak membicarakan Trolley atau Ripple sebagai bagian penting budaya literasi Bandung Underground, itu karena dua zine ini lahir dalam kemasan aduhai. Berbeda dengan kebanyak zine yang hanya foto kopian. Padahal di luar Trolley atau Ripple, terlalu banyak zine bagus yang sangat berpengaruh. Sebut saja Tigabelas, Membakar Batas, atau Beyond Barbed Wire yang sangat provokatif itu.
Belakangan budaya tulis mulai menapaki undakan lebih baik dengan berdirinya toko-toko buku keren seperti Tobucil, Ultimus, Rumah Buku, dan Omuniuum. Bahkan kemudian muncul pula Minor Books, sebuah penerbitan yang digagas orang-orang gila dengan komitmen gila pula. Satu masterpiece Minor Books adalah buku biografi Ivan Scumbag berjudul Myself: Scumbag Beyond Life and Death karya Kimung yang terbit pada 2007.
Semangat mengekspresikan ghirah bermusik ke dalam bentuk literatur berbanding lurus dengan geliat ekonomi di bidang merchandise band, dalam hal ini kaos. Industri clothing yang tumbuh secara masif membuat band mudah meliris merchandise. Dibanding album musik atau zine, harus diakui, merilis merchandise adalah cara paling pragmatis untuk menyambung napas band itu sendiri.
Pada akhirnya, Bandung Underground memang bukan sekadar musik ultragaduh, rilisan album, zine, atau lain-lain. Lebih dari itu, Bandung Underground adalah lapangan tempat menyiasati hidup yang kadung disumpeki setumpuk sistem yang kadang tidak cocok dengan keinginan ideal kita. Tapi bukankah itu sebuah kesadaran yang tak boleh padam, agar Bandung Underground terus langgeng ti baheula nepi ka ayeuna jeung salawasna! Hail yeahhh!!! (Disarikan dari berbagai sumberhttp://bandung-underground.com/